kau datang seperti bidadari yang meluncur dari pelangi, berselendang rangkaian kata-kata yang berwarna-warni. Kau ungkapkan sekian pertanyaan, yang membuatku makin bergairah.
Sebab, aku sesungguhnya ingin menulis di tubuhnya. Sungguh hanya berbeda satu huruf. Tapi bahkan satu karakter kecil pun akan membuat perbedaan yang seperti jurang.
Kepak kupu-kupu di taman rumahmu bisa menyebabkan badai di bibir pantai.
Dia mungkin tak menganggap penting keinginanku. Boleh jadi dia memang tidak membaca keinginanku. Tidak masalah. Dan kalau justru kau yang ingin aku menulis di tubuhmu, aku akan segera menulisnya. Sebab, Dia, kau, atau siapa pun lainnya memiliki kejelitaan istimewa yang selalu membuatku jatuh cinta.
Mungkin aku tak perlu memberinya judul. Aku hanya ingin berkisah tentang seorang lelaki yang jatuh cinta tiap hari.
Tidak seperti kisah lain yang kutuliskan dengan tinta atau melalui tarian jemari di papan ketik, kalimat ini sudah muncul di kepala jauh mendahului kisahnya.
Namun kalau aku bilang jatuh cinta tiap hari, bukan berarti aku berkisah tentang lelaki yang senang mempermainkan cinta.
Mungkin malah sebaliknya, dialah yang dipermainkan cinta. Kalaupun benar demikian, ia --baiklah, lelaki itu memang aku-- tak akan mengeluh atau menyesalinya.
Aku selalu bahagia meski dalam pusaran badai cinta.
Meski demikian, seperti kataku, aku hanya akan menulis kisah yang sederhana. Sebab, kisah yang rumit, apalagi dengan pretensi yang terlalu muluk, hanya akan menyebabkan keindahan sulit lagi dinikmati. Aku hanya ingin menulis sesuatu yang bisa dirasakan keindahannya meski sederhana.
Sebab, kalaupun orang lain gagal menyesap keindahannya, biarlah hanya kita --aku dan kau-- yang merasakannya.
Hanya satu yang kupahami dalam hal ini: bukankah cinta itu sederhana?
Entah kapan berawal, aku selalu tenggelam dalam kebahagiaan oleh lautan kata-kata.
Setahun lalu? Sepuluh tahun lalu? Dua puluh? Mungkin ketika aku mulai berenang dalam kata-kata yang dituliskan.
Kata-kata dan kalimatnya yang lembut dan santun justru membuatku kerap terbanting-banting dalam gairah.
Tapi aku tak bisa mengenali apakah aku jatuh cinta??? Dia terlalu indah, terlalu berkharisma, terlalu jauh dan tinggi, tak mungkin kugapai. Mungkin juga karena dia terlalu klasik, seperti keramik Cina.
BEGITULAH, dia, kisahku yang akan kutuliskan di tubuhmu. Bisa kubayangkan sebuah puncak ekstase ketika aku menyelesaikannya.
Dengan demikian, mestinya kau tidak menilaiku menganaktirikanmu meski kau bilang kita hidup dalam peradaban yang menganaktirikan kaummu.
Tentu saja kau punya hak dan kuasa atas tubuhmu. Bukankah aku sekadar menulis tubuhmu dengan ujung jariku? Dan bukankah aku menulisnya dengan maksud menambah indah tubuhmu?
Sekarang, aku harus rela memperpanjang waktu sebelum kita mati di puncak cinta.
Sebab, kau sendiri justru ingin menulis di tubuhku. Kau ingin kita saling tulis di tubuh kita. Apa yang akan kau tuliskan di tubuhku? Tentang realitasmu?
Ayolah, apa saja, tulislah. Realitas atau fiksi, aku tak peduli. Aku memang sulit memilah fiksi dari realitas.
Aku selalu mempertukarkannya. Sering, ketika aku menulis sebuah fiksi, aku merasa bahwa aku sedang menciptakan realitas.
Namun sebaliknya, ketika aku menghadapi realitas, aku merasakannya sedang membaca sebuah fiksi.
Tulislah apa pun di tubuhku --kalau kau memang mau. Mungkin aku tak perlu membaca dengan mataku. Aku akan memejamkan mata. Sebab, tanpa menatap huruf-huruf yang kautuliskan, aku akan bisa membaca kisahmu.
0 komentar:
Post a Comment